“A home is a place you grow up wanting to leave, and grow old wanting to get back to.” – John Ed Pearce
Udara di Basel saat winter terasa menggigit hingga ke tulang, seakan seluruh dunia dibekukan dalam hening yang kelabu. Langit yang sedari pagi dipenuhi awan kelabu semakin menggantung rendah, dan langkah kaki saya dan Michael berderak pelan di atas salju yang mulai menipis di trotoar.
Sore itu, saya dan Michael, sahabat yang berasal dari Algeria, sedang menunggu laundry selesai di basement apartment kami. Mesin pengering berputar perlahan, mengeluarkan suara berderak monoton, seirama dengan dinginnya ruangan tempat kami duduk bersila.
Dinding basement terbuat dari beton dan dingin saat disentuh, memberi suasana sepi yang tak terelakkan. Michael bersandar pada dinding, matanya menatap kosong ke arah mesin pengering. “Di rumahku,” sambil tersenyum kecil, “kami mengeringkan baju di bawah sinar matahari.”
Saya tertawa kecil, teringat kembali pada halaman belakang rumah, di mana jemuran terbentang di bawah langit sebiru sapphire. Pakaian-pakaian itu melambai-lambai diterpa angin tropis, begitu alami dan hidup. “Sama, kalau di rumahku matahari sudah melakukan semua pekerjaan ini.”
Michael mengangguk, senyumnya melebar. “Di sini, langit kelabu hampir sepanjang winter, dan rasanya seperti hidup di bawah bayangan.” Saya menghela napas, mengusap tangan yang dingin meski sudah berlapis sarung tangan.
“Ya, matahari di negara kita bukan hanya soal panas. Tapi soal kehidupan serta kehangatan yang membuat segala sesuatunya terasa hidup, berwarna, dan… oh, sungguh dirindukan. Michael, saya jadi makin homesick.”
Kami terdiam sejenak, membiarkan bunyi mesin pengering mengisi kekosongan. Dalam keheningan saya makin menyadari bahwa matahari di negara kami begitu murah hati. Di basement yang dingin itu, saya mulai memahami betapa mewahnya hal-hal yang dulu saya anggap biasa.
“Where we love is home – home that our feet may leave, but not our hearts.” – Oliver Wendell Holmes Sr.
Part 1
