“True beauty is not in perfection, but in the moments that bring us closer, despite the mess.”
Saya dan Sisca melangkah bersama menyusuri jalan campus, suasana musim gugur yang semakin mendalam di Leeds membuat langkah kami terasa lebih pelan. Tiba-tiba, ide terbersit dalam kepala untuk membalas kebaikan Ibu Prapto yang selalu menawarkan masakan Indonesia yang begitu hangat.
“Bagaimana kalau besok sore pulang dari campus kita masak sesuatu untuk Ibu Prapto?” tersenyum membayangkan kejutan kecil itu. Wajah Sisca berbinar “Ah, saya ingin masak bihun kecap, resep dari mama”. Saya merasa senang karena tahu betapa istimewanya hidangan itu bagi Sisca.
Keesokan harinya, Sisca datang dengan penuh semangat, membawa bihun, cabai, kecap, dan rempah-rempah khas Indonesia. Awalnya agak kaku karena kami tidak pernah memasak sewaktu di Indonesia. Namun Sisca tampak lebih cekatan, sedangkan saya berusaha mengikuti iramanya.
Ketika tiba waktunya mengupas bawang putih dan merah, air mata saya tak henti menetes karena perihnya. Dan saat hendak mencincang, bawang terpelanting dari chopping board, melayang di udara, dan akhirnya terlempar keluar jendela. Kami terdiam sejenak, lalu tertawa kecil.
“It’s okay,” Sisca tak henti tertawa, “Yang penting bukan kecapnya yang jatuh. Ganti merk lain, rasanya pasti beda.” Ia menunjukkan dengan penuh antusias kecap favoritenya, dan kami pun tertawa lebih lepas.
Pada akhirnya, bihun kecap itu pun matang, harum dan lezat. Kami menatanya dengan penuh perhatian, lalu membawanya ke rumah Ibu Prapto. Sesampai di sana, Ibu Prapto dengan senyum hangat menawarkan risol yang baru saja digoreng untuk dibawa pulang.
Keindahan sederhana dari waktu yang kami habiskan bersama di dapur mengingatkan bahwa dalam setiap kekacauan, dalam setiap ketidaksempurnaan, ada kebersamaan yang tercipta dan kenangan yang tumbuh.
“Perfection is an illusion. What truly matters is the sincerity of our actions.”
Part 2.