“Stop a second, and simple scenes turn into poetry.”
Saya kembali menatap anak kecil itu setelah ia memberikan potongan roti terakhir kepada burung merpati. Ia berdiri dengan tangan kosong, seolah menunggu sesuatu, namun bukan balasan, bukan tepuk tangan, hanya rasa cukup yang tumbuh diam-diam di dalam dadanya.
Matanya berbinar, dan wajahnya memancarkan kebahagiaan yang begitu sederhana, jujur, dan tak dibuat-buat. Ada ketulusan yang jarang terlihat di dunia yang selalu terburu-buru ini.
Pandangan saya kembali tertuju pada wanita yang tadi berhenti di depan kaca toko. Kini ia berjalan perlahan, tapi masih membawa sisa senyum di wajahnya, seolah bayangan dirinya barusan telah mengingatkannya bahwa ia cukup, bahwa ia indah tanpa harus menjelaskan mengapa.
Dua moment kecil dari dua wajah yang berbeda. Tapi keduanya menyimpan satu hal yang sama yaitu kebahagiaan yang lahir bukan dari hal besar, melainkan dari penerimaan… dan kehadiran.
Michael mengikuti arah pandangan saya, lalu saya berbisik pelan, “Michael, look… how happiness sneaks in through the quietest doors.” Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum, lembut dan dalam. “And maybe,” lanjutnya, “what we need isn’t more… just enough time to notice what’s already here.”
Kami duduk tenang sambil menyesap sunyi yang perlahan mengendap. Hanya dengan diam sejenak dan menajamkan mata, keindahan sederhana tiba‑tiba muncul dari sudut‑sudut yang luput yaitu senyum kecil seorang anak, sepotong roti untuk seekor burung dan pantulan bahagia di kaca toko.
Hal yang terkesan remeh itu ternyata yang merajut hari dan kami pun pulang membawa oleh‑oleh paling sunyi yaitu kesadaran bahwa kebahagiaan selalu hadir, asal kita rela berhenti sejenak, menengok sekitar, dan sungguh‑sungguh melihatnya.
“Pause long enough and everyday moments reveal their hidden beauty.”
Part 30.