“Courage doesn’t always roar. Sometimes courage is the quiet voice at the end of the day saying, ‘I will try again tomorrow.’” Mary Anne Radmacher
Dari celah papan warung, samar-samar tercium aroma minyak panas yang mulai bekerja, menghadirkan suasana akrab seperti panggilan diam-diam bagi siapa saja yang pulang dari bermain ombak dengan perut lapar.
Angin sore menyeret wangi gorengan dari dapur kecil di belakang, bercampur dengan desis minyak dan suara renyah yang seakan menambah irama pantai.
Ibu itu kembali duduk di bangku kayu, mengipas wajahnya dengan selembar karton bekas. “Kalau capek, Bu, kenapa tidak tutup saja warungnya lebih cepat?” suara saya nyaris tenggelam di antara debur ombak.
Ia tersenyum tipis. Ada garis lelah di sudut matanya, tapi juga kilatan bening seolah laut sore itu sedang bicara lewat tatapannya. “Capek itu pasti ada. Tapi kalau setiap kali capek saya berhenti, warung ini sudah tutup dari dulu.”
Ia menambahkan pelan, “Capek itu yang bikin saya tahu, mana yang penting untuk diteruskan dan mana yang tidak penting.” Sophie menatap lama, lalu menunduk seakan menyembunyikan sesuatu dalam pikirannya.
Saya pun ikut terdiam, membiarkan kalimat itu menempel perlahan di hati. Mungkin memang begitu cara hidup mengajarkan bukan sekadar soal menghindari rasa penat, melainkan menemukan arti di baliknya.
Seperti laut yang tidak pernah berhenti bergelombang, manusia pun belajar tetap hadir, meski tidak selalu dengan tenaga penuh.
“The best way out is always through.” – Robert Frost
Part 4.