“A sip taken too quickly burns the tongue, just as rushing through life keeps us from tasting its true depth.”
Saya mengangkat cangkir perlahan, membiarkan uap tipis melayang, sejenak meresap ke udara sebelum bibir menyentuh pinggiran cangkir. Tak ada keinginan untuk terburu-buru. Setiap gerakan terasa seperti alunan yang tenang, mengikuti ritme waktu yang enggan terburu, seperti senja yang enggan pergi.
Hong memperhatikan dalam diam dan matanya tertuju pada permukaan tea yang beriak halus. Ia meraih cangkirnya sendiri, menghirup dengan lebih cepat dari yang seharusnya. Seketika, dahinya mengernyit, kelopak matanya menutup, menahan sensasi panas yang menyengat lidahnya terlalu tajam.
Arsyl melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat samar. “Seteguk yang terlalu cepat membakar lidah, tapi jika menunggu, rasanya akan lebih utuh.” Ia tersenyum kecil, seolah mengenang sesuatu. “Sarah dan termos tea-nya mengajarkan saya banyak hal tentang cara menyesap dengan tepat.”
Hong membuka matanya, menarik napas pendek sebelum tertawa kecil. “Isn’t it like life?” katanya pelan. “Kadang kita terlalu ingin segera merasakan sesuatu, sampai lupa bahwa rasa terbaik hadir saat kita memberi waktu.”
Di luar jendela, angin malam masih menggoyangkan tirai dengan lembut. Pantulan lampu di kaca bergetar pelan, seperti bisikan kenangan yang belum sepenuhnya reda. Arsyl menautkan jemarinya di atas meja, pandangannya jauh, tapi senyumnya tetap ada.
Arsyl tersenyum tipis sebelum berbisik, “Kesabaran ternyata sederhana. Bukan hanya menunggu, tapi tahu kapan harus menikmati.” Hong mengangguk, kali ini lebih hati-hati saat menyesap tea ditangannya.
Hangatnya tak lagi menusuk, melainkan menyelimuti lidah dengan kelembutan yang akrab. Dalam hening yang nyaman, kami membiarkan percakapan melanjutkan dirinya sendiri…pelan, seperti tea yang akhirnya mencapai suhu sempurna hingga bisa mengeluarkan rasa dan aroma yang utuh.
“What is rushed is rarely understood. What is given time reveals its true meaning.”
Part 18.