“Every region sings its own song, yet together they make one great harmony.”
Saya masih berdiri di bawah rangka kayu phinisi itu ketika bapak tua kembali melanjutkan ceritanya. Suaranya pelan tapi mantap, seakan setiap kata membawa jejak pengalaman bertahun-tahun.
“Kalau orang sini sebut balok panjang ini apa, Pak?” tanya saya sambil menunjuk lunas. Bapak itu tersenyum tipis. “Di sini disebut kalebiseang. Kalau upacara pemotongan itu namanya annakbang kalabiseang. “
Matanya berbinar, seolah menghidupkan kembali moment itu. “Setelah itu ada upacara lagi, namanya Annattara yaitu menyambung lunas. Itu sebagai symbol perkawinan laki-laki dan perempuan yang nanti melahirkan bayi, yaitu kapal.”
“Upacaranya dimulai jam berapa, pak ?” Bapak yang satunya tersenyum, “Biasanya tunggu matahari sudah naik, sekitar jam sembilan. Waktu itu ada sesajinya juga. Ibu-ibu sudah siapkan baje dan onde-onde.”
Chris, yang sejak tadi mendengar dengan penuh perhatian, tiba-tiba menyenggol saya pelan. “Is that onde-onde the round one that we had this morning?” tanyanya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
Saya tertawa kecil. “Yes, that’s the one. The round ones with grated coconut on the outside. In Jakarta they call it klepon, but it’s a little different. There it’s green, here it’s white. Different place, different style.”
Percakapan itu berakhir dengan rasa kagum yang membuncah. Dari ritual pembuatan kapal hingga sepotong makanan sederhana, selalu ada cerita yang menunjukkan betapa luas dan beragamnya kebudayaan Indonesia tercinta.
“Diversity is not noise. It is harmony waiting to be heard.”
Part 47.