“You cannot choose the ears that hear you, but you can choose the music your words play.”
Dalam perjalanan meninggalkan gedung, kami singgah sebentar di sebuah toko di pinggir jalan. Lampu putihnya menyala terang, memantulkan semburat cahaya di lantai yang licin, seolah menyambut dengan kehangatan.
Begitu pintu terbuka, dari sudut ruangan terdengar bunyi “beep” mesin cashier disusul nada suara seorang ibu yang mmeninggi, tajam, lalu membelah udara.
Saya tak menangkap seluruh isi kata-katanya, namun amarahnya jelas terasa, dibungkus pilihan kata yang kasar dan tanpa kendali.
Bahkan dari sudut paling belakang toko dimana kami melangkah pelan, setiap suku kata yang nyaring masih memantul seperti mengetuk dinding telinga. Sophie terhenti, matanya membelalak, lalu menggeleng perlahan.
Chloe menoleh sekilas dan keningnya berkerut halus. Tak ada sepatah kata pun, namun ketidaknyamanan itu terpancar jelas di wajah mereka. Sama seperti yang saya rasakan saat mendengar rentetan kata-kata tersebut.
Saya menyadari bahwa persepsi orang dalam menangkap mungkin di luar jangkauan kita, tapi kita sepenuhnya memegang kendali atas cara kata itu terucap, mulai dari intonasi yang dipilih, waktu yang di ambil, dan bobot kata yang dilepaskan ke udara.
Tanggung jawab atas tutur kata yang kita ucapkan, sepenuhnya berada di tangan kita. Bukankah sekali suara itu meluncur, ia tak akan pernah kembali menjadi sunyi ?
“The ocean cannot command the tide, but it can choose the waves it sends ashore.”
Part 17.

