“The power to grow lies not in knowing the outcome, but in trusting the journey.”
Arsyl tersenyum kecil, matanya sedikit redup tapi terlihat lebih tenang dari sebelumnya. “Iya, Sarah. Mungkin melepaskan itu sebenarnya bentuk dari keberanian. Berani percaya kalau kita akan baik-baik saja, meski tanpa hal yang dulu kita pikir tidak bisa dilepaskan.”
Suara burung parakeet hijau kembali terdengar, seakan menjadi latar bagi percakapan kami. Kata-katanya membuat saya terdiam, ada sesuatu yang mendalam dalam caranya berbicara, seolah-olah ia sedang merangkai potongan-potongan luka menjadi pemahaman baru.
“I think,” lanjutnya dengan suara serak “yang sulit dari melepaskan bukan karena kita takut kehilangan. Tapi karena kita lupa bagaimana percaya, percaya pada diri sendiri, percaya pada waktu, dan percaya bahwa hidup punya caranya sendiri untuk membawa kita ke tempat yang lebih baik.”
Saya menatapnya, membiarkan setiap katanya meresap perlahan, seperti embun pagi yang menyentuh dedaunan. Angin kembali menggerakkan ranting pohon, menggugurkan beberapa daun yang jatuh melayang, meliuk-liuk seperti sedang menari menuju tanah. “Arsyl, thank you for the insight”.
Dia menoleh, tatapannya menghangat. Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya saat mengangkat bahu dengan ringan. “Mungkin ini giliran saya menjadi pohon yang menumbuhkan tunas baru?”
Kami tertawa kecil bersama, dan pagi itu terasa lebih ringan. Angin membawa keheningan, tapi tidak lagi sunyi yang menyakitkan, melainkan tenang, seperti jeda yang memberi ruang bagi sesuatu yang akan datang.
Saya menyadari bahwa keberanian itu terletak pada kemampuan untuk percaya. Percaya pada proses yang sering kali tersembunyi dalam ketidakpastian, pada waktu yang terasa berjalan begitu lambat, dan pada diri sendiri yang kadang lupa bahwa di dalamnya ada kekuatan untuk terus bertumbuh.
“Faith is the quiet strength that keeps us moving, even when the path is unclear.”
Part 9.
