“Harmony is born not from what fills the space, but from the space itself.”
Saya memutuskan menjelajahi bagian referensi architecture dan menemukan buku tentang taman traditional Jepang. Saat membuka halamannya, tertuju pada gambar taman Zen, hamparan pasir rata, batu besar yang diletakkan dengan cermat, dan ruang kosong di antaranya.
Sekali lagi, concept Ma hadir dengan begitu nyata. Taman Zen ini bukan tentang seberapa banyak element yang ada, tapi tentang bagaimana ruang kosong di antara element-element tersebut menciptakan harmony dan rasa tenang.
Kembali teringat saat mengunjungi Ryoanji, taman batu terkenal di Kyoto, beberapa tahun silam. Awalnya, saya tidak mengerti apa yang membuat taman itu begitu istimewa. Di mata saya, hanya pasir, batu, dan ruang kosong.
Namun, semakin lama duduk di sana, perasaan tenang semakin menyelinap. Seolah-olah taman itu memaksa saya berhenti berpikir dan hanya merasakan. Ruang kosong ibarat cermin, memantulkan kembali pikiran dan emosi, hingga yang tersisa hanyalah kedamaian.
Di library ini, saya akhirnya menyadari makna dari concept Ma yang saya temui di Ryoanji. Kehidupan tidak selalu tentang apa yang kita tambahkan, tetapi sering kali tentang apa yang kita lepaskan. Ruang kosong bukanlah sesuatu yang harus diisi, melainkan sesuatu yang perlu dihargai.
Saat menutup buku dan memandang sekeliling, saya menyadari bahwa library ini, dengan kesederhanaan dan keheningannya, adalah taman Zen dalam bentuk yang berbeda.
Rak-rak buku yang menjulang adalah batu besar, lorong-lorong kosong di antaranya seperti pasir yang diratakan, dan para pengunjung menjadi bagian dari harmony itu. Ma mengajarkan bahwa kedamaian ditemukan dengan menghargai ruang, baik di luar maupun di dalam diri.
“Emptiness is not a void. It’s where clarity and growth reside.”
Part 7.