“You are what you eat, so don’t be fast, cheap, easy, or fake.” – Unknown
“Halo Rika sayang, ada mamanya ?” Saya melemparkan senyum saat melihat anak bu Prapto membuka pintu.
“Ada tante Sarah dan Tante Sisca. Ayo salim.”Bu Prapto menghampiri dan Rika pun mencium tangan dan kami balas dengan pelukan hangat.
“Di culik sama Sarah untuk ke sini dulu padahal mau pulang bersihkan kamar.“
“Tenang ,Sis, aku mampir bantuin vacuum dan setrika.”
“Nggak ah, setrika ala Sarah sih bajuku bisa rusak. Waktu ke apartmentnya, dia sibuk loncat-loncat di atas tempat tidur, katanya lagi setrika baju. Aku diajak loncat juga untuk bantu setrika. Aku awalnya bingung.”
Sisca tertawa terbahak-bahak sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
“Ternyata bajunya di jejer dibawah matras agar terjepit dan katanya akan lurus karena ditindih.” Siska semakin tertawa terbahak-bahak.
“Sekarang kan sudah pintar setrika baju, Sis.Tinggal pintar masak soto ayam ala Bu Prapto yang belum.”
“Membedakan kapan harus pakai aneka dedaunan dari salam, kemangi, kunyit, serai, bawang dan jeruk saja masih bingung. Aku baru bisa bedakan daun pintu dan daun jendela saja, bu.” Saya lanjut menjelaskan sembari terkikik.
“Tapi membedakan daun telinga dengan daun jeruk bisa kan, Sar.”Kami bertiga pun tertawa terbahak-bahak
“ Suatu waktu pasti jago masak karena untuk dinikmati oleh orang yang kita sayang dan pastinya masakan rumah lebih sehat karena dari bahan yang terbaik.”Ibu Prapto menerangkan sembari menyodorkan risol dan soto ayam yang sungguh menggugah selera.
Dua puluh tahun telah berlalu, namun perkataan bu Prapto benar adanya karena ketika saya memasak di rumah, I can control the amount of oil I use and leave out all the unhealthy additives and artificial flavours. Serta satu yang pasti, akan selalu ada delapan sendok cinta dalam setiap adukannya.
“The food you eat can be either the safest and most powerful form of medicine or the slowest form of poison.” – Ann Wigmore