“A helping hand speaks a language no words can match. It is understood in every corner of the world.”
Saat saya dan Chloe menginjak trotoar di luar airport, angin pagi Hat Yai menyapa, membawa aroma aspal hangat yang masih menyimpan jejak embun. Matahari mulai naik, seakan mencairkan sisa-sisa kelelahan dari perjalanan panjang kami.
Di sekitar, kendaraan berlalu-lalang dalam ritme yang tenang, jauh berbeda dari hiruk-pikuk Bangkok yang lebih riuh. Chloe menarik napas dalam, menyesap udara baru yang entah kenapa selalu terasa berbeda meskipun sudah beberapa kali ke sini.
Di kejauhan, deretan kendaraan menunggu penumpang, mulai dari minibus, taxi, hingga songthaew berwarna biru. Kendaraan ini sebenarnya adalah truk kecil yang dimodifikasi untuk angkutan umum, dengan bangku panjang di bak tertutupnya.
Chloe menatap deretan kendaraan di depan kami. “Kita naik yang mana, Mama?”. Saya tersenyum. “Kita naik taxi saja, koper kita besar.” Chloe tertawa kecil, menepuk-nepuk koper yang hampir setinggi tubuhnya. “Yes, our luggage is as big as me, Mama!”
Ia mengamati koper yang penuh sesak dengan aneka horn jewelry beserta alat displaynya, seolah itu sahabat perjalanannya. “Maybe next time, we should bring a smaller one,” gumamnya polos.Saya menggenggam tangannya saat kami melangkah menuju taxi yang menunggu di bawah teduhnya pohon.
Saat saya mencoba menurunkan koper, Chloe sigap berusaha membantu dengan tangan mungilnya. Tiba-tiba, sopir taxi bergegas keluar, dengan cekatan mengangkat koper kami ke bagasi. Chloe menatapnya sejenak lalu berbisik, “He’s so strong, Mama.”
Saya membelai rambutnya lembut. “Strength isn’t just about lifting heavy things, but about helping others carry what they can’t alone, sayang.” Chloe mengangguk pelan. “Seperti saat ini, ada yang membantu kita.”Angin pagi kembali berembus, seolah mengamini kata-katanya.
“A single act of kindness may seem small, but in that moment, it carries the weight of the world for someone in need.”
Part 3.