“A stranger’s kindness is proof that humanity’s light shines brightest in unexpected places.”
Saya berada di depan sebuah restaurant vegan dengan aromanya yang menggugah selera. Perut yang kosong terasa semakin tak sabar, menarik langkah untuk masuk. Setelah memilih semangkuk soup hangat, saya menuju cashier, siap membayar.
Namun, ketika membuka dompet, kenyataan seketika menyergap: saya hanya memegang lembaran US dollar dan belum mengunduh WeChat atau Alipay. “Oh shoot,” bergumam pelan, sedikit canggung. Saya segera meminta maaf kepada cashier sambil membatalkan pesanan.
“Eat, eat, eat first,” katanya lembut. “It’s important to eat.” Saya tertegun, tetapi tetap mencoba menjelaskan dengan nada panik bahwa ada kemungkinan tidak bisa membayar karena credit card saya belum tentu bisa digunakan untuk menarik uang tunai di ATM sekitar.
Namun, ia kembali menenangkan dengan nada suara yang begitu tulus. “Food first. It’s okay.” Dengan rasa haru saya mengucapkan terima kasih berulang kali. Di tengah suapan pertama, seorang anak muda dari meja sebelah menoleh, tersenyum kecil, dan berkata dengan bahasa Inggris yang fasih.
“You know, in our culture, giving food is a way of showing care. These days, we say ‘ni hao’ as a greeting, but in the past, people often said ‘chi le ma?’ yang artinya, ‘Have you eaten?’ Itu cara kami memastikan satu sama lain baik-baik saja.”
Saya mendengar kata-katanya yang sederhana namun begitu bermakna. Di setiap suapan soup hangat itu, terasa sesuatu yang lebih dari sekadar kenyang. Ada rasa syukur, ada rasa dihargai, meski oleh orang yang sebelumnya hanyalah orang asing.
Ketika malam perlahan menyelimuti Chengdu, dengan rembulan menggantung lembut di langit, saya menyadari bahwa kepedulian tak selalu butuh nama atau alasan. Kadang, ia hadir begitu saja, tanpa pamrih dan tanpa perkenalan dalam bentuk semangkuk soup.
“Kindness is the universal currency, accepted everywhere, and leaves the giver still rich.”
Part 1.