“Waktu merdeka kita punya head-start yg sangat bagus dibanding bangsa Asia lain. Pada saat itu China masih hancur lebur, dan lebih hancur lagi pada saat revolusi kebudayaan, Jepang porak poranda, Korea sama juga, Singapore merdeka pun belum. Coba lihat sekarang. Kalau misalnya ada seseorang dari negara berkembang lain di Asia atau Afrika mendapat beasiswa di bidang teknologi dari universitas negeri teratas di Indonesia, seperti UI, ITB, UGM dan juga dari National University of Singapore, atau Nanyang, orang waras mana yang memilih universitas di Indonesia? Ini wakeup call yang long overdue.”
Prof Pitoyo Hartono
Aneka makanan dan minuman di lounge sangat lengkap dan terlihat mewah laiknya suguhan di hotel bintang 5. Saya hanya mengambil beberapa jenis buah, seporsi kecil aneka jenis kacang, beberapa potong keju walau pun ada banyak pilihan jenis keju dan menaruh beberapa permen di sudut piring kecil tersebut.
Thomas masih menikmati kopi espressonya dan terlihat heran melihat kombinasi makanan di piring saya. “Apakah kamu sarapan dengan cheese platter? itu kan setelah dinner dan kenapa ada candy ? “
“Saya lagi menikmati dessert dengan menggunakan time zone negara kamu.” Saya menjawab santai dan ia pun tertawa terbahak-bahak sambil geleng kepala.
“Oh candy ini hanya untuk mengenang masa menderita saya dulu disaat China belum semaju sekarang. Selama tradeshow, dari pagi sampai sore , saya tidak berani minum, cuma makan permen untuk melepas dahaga karena saya tidak mau ke toiletnya yang kotor. Begitu sampai di apartment , barulah saya minum dan makan sepuasnya.”Saya lanjut menerangkan.
“Perubahan disini sangatlah cepat” Thomas menjawab sambil kembali menghirup kopi hitamnya yang sangat pekat. “Jadi apakah factor kedua yang membuat China bisa sangat maju?”Saya bertanya sambil menikmati sarapan.
“Okay, tunggu sebentar , saya penasaran, ingin tahu rasanya menikmati dessert dengan time zone America “Tak lama ia sudah kembali dengan membawa cheese platter dihiasi oleh hamparan permen.
“Saya ingin ikut mengenang penderitaan kamu.” Sambil tertawa kecil ia membuka bungkus permen satu persatu dan membagi beberapa kepada saya.
“Sarah, apakah kamu tahu falsafah hidup bangsa China yaitu “Politik sebagai panglima” yang diinisiasi oleh Mao Zedong perlahan ditinggalkan tak lama setelah kepemimpinannya berakhir“ Ia melanjutkan pembicaraan dengan mulut masih sibuk mengunyah permen secara perlahan.
“Lho kenapa ditinggalkan , bukankah Mao Zedong adalah pendiri CCP dan merupakan pemimpin China paling berkuasa selain Xi Jin Ping ? lalu kebijakan apa yang dilakukan oleh Deng Xiaoping sebagai penerus Mao Zedong ?”Saya semakin penasaran
“Oh well, Deng Xiaoping menjelaskan kepada kader CCP dan rakyatnya bahwa fazhan cai shi ying daoli yang artinya pembangunanlah yang merupakan kebenaran hakiki dan itulah yang mereka terapkan hingga ke Presiden yang sekarang.” Thomas menjelaskan dengan sabar.
“Mereka lebih meyakini bahwa yang mampu membuat perut rakyatnya kenyang bukanlah dengan membicarakan dan memikirkan politic setiap hari tetapi kerja keras untuk meningkatkan perekonomian.”Thomas lanjut menjelaskan.
“Ah I see, jika tak ada kegaduhan politic maka mereka bisa focus memajukan perekonomian dan cara yang paling cerdas adalah dengan penguasaan science dan technology”
“Exactly, Sarah. Para investor, insinyur dan scientist asing boleh bebas masuk ke sini, tapi dengan satu syarat yaitu memberikan akses sebesar-besarnya ke mereka untuk menguasai teknologi baru tersebut. Mereka bahkan punya badan arsip khusus untuk menyimpan sekaligus sebagai pusat referensi bagi para insinyur dan scientist local.”
“Wow berarti kemampuan reverse engineering atau bongkar, amati, tiru lalu memodifikasi terhadap semua produk teknologi terbaru sangat di fasilitasi oleh pemerintah mereka.”Saya berkata dengan penuh takjub tidak hanya kepada China,tapi juga dari cara Thomas menjelaskan
As I expected, memang beda kelas kalau yang menerangkan adalah Dosen dari Harvard dibandingkan dosen dari kampus antah berantah.
“Yang bangsa kita butuhkan sekarang itu kerja keras, bukan euforia akan best case scenario yang belum tentu datang. Kerendahan hati untuk mengakui bahwa level kita masih di “situ-situ saja” harusnya bisa menjadi penggerak untuk berusaha keluar dari level itu. Bonus demografi itu tidak otomatis datang, tapi harus “didatangkan”. Dan kalau bonus ini tidak datang? Siapa yang menanggung populasi besar yang tidak produktif dan inovatif. Ini beban besar. Mungkin satu-satunya yang bisa dilakukan oleh populasi semacam ini adalah demo sepanjang tahun. Industri waras mana yang mau berinvestasi di tempat semacam itu? Sekali lagi, bangsa kita punya potensi jadi bangsa besar, tapi ada juga kemungkinan jadi bangsa terpuruk. Kali ini saya sedikit mengubah pertanyaan sekaligus mengajak orang yang mau berpikir untuk sedikit menggunakan otaknya: bagaimana cara mendatangkan bonus demografi di Indonesia?”
Prof Pitoyo Hartono
February 16th, 2022

