“We tend to forget that happiness doesn’t come as a result of getting something we don’t have, but rather of recognizing and appreciating what we do have”
Unknown
Pendaran cahaya oranye kekuningan terlihat dari balik jendela pesawat seakan tersenyum menyambut kedatangan saya dan mbak Ayuk di Bandar Udara Domine Eduard Osok, Sorong. Cahaya tersebut semakin terpancar sepanjang mata memandang ujung laut yang seakan tak bertepi.
Kehangatan sinarnya lanjut menemani langkah kami meninggalkan bandara dan terasa membungkus tubuh bagaikan selimut raksasa yang menaungi dari langit. Langit berangsur semakin terang disaat kami sudah menaiki mobil sewaan yang akan membawa ke dermaga untuk menyeberang menuju Waisai.
Sesampai di dermaga, kami menanti selama beberapa jam karena kapal saat itu hanya berlabuh dua kali sehari. Akhirnya kapal bersender di geladak dan membawa kami menuju kota Waisai.
Dari kejauhan terlihat keindahan lautan yang berpadu dengan gugusan bukit karang yang sungguh menyejukkan mata bagi setiap insan yang mempunyai kesempatan untuk memandangnya secara langsung.
Sesampainya di Waisai, kami langsung menuju ke tempat peristirahatan. Penat dan rasa kantuk mulai terasa menggoyahkan pertahanan yang sedari tadi saya coba untuk lawan.
Di saat menjejakkan kaki menuju pintu rumah, saya terpana karena ada dua buah AC baru yang teronggok diteras menyambut kedatangan kami. Ternyata itu adalah pembagian untuk para penduduk sekitar yang menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk menginap bagi para peserta pameran.
“Kenapa tidak dipasang, ibu ?” saya mengeryitkan kening kebingungan.
“Bagaimana mau dipasang, cuma kadang ada pelita, tidak ada genset” ibu penghuni rumah menjelaskan dengan senyuman ramah menyambut kedatangan kami.
Menjelang malam saya baru menyadari pelita adalah lampu dengan nyala orange dan asap hitam yang membumbung ke udara sebagai sumber cahaya. Namun itu pun jarang dinyalakan karena harga minyak tanah yang mahal.
Jangankan untuk pasang AC, ternyata listrik sangat terbatas kala itu. Hanya hotel disekitar yang terlihat terang benderang di tengah kegelapan malam karena menggunakan generator pribadi.
Suasana semakin gelap gulita dan saya semakin panic, “Aduh bagaimana ini ? apa bisa saya survive ?” setumpuk pertanyaan tak henti melintas di pikiran. Saya dan mbak Ayuk pada akhirnya hanya bisa berdiam didalam kamar di tengah kegelapan malam.
Tiba-tiba saya baru ingat kalau belum sempat mandi. Dalam kegelapan , saya mencoba mandi dan alangkah kagetnya ternyata didalam bak mandi ada ikan bergerak-gerak dengan gesitnya.
Saya berteriak sambil berlari keluar. Ternyata ikan sengaja di pelihara agar bisa memakan larva. Karena kejadian itu, akhirnya saya mengurungkan niat untuk mandi dan menunggu hari menjelang pagi. Keesokan harinya saya menampung air didalam ember dan tidak berani menggunakan air dari bak mandi.
Sore setelah pameran saya ke hotel tempat ibu Donna menginap, salah satu staff kementerian Perdagangan yang juga berada disana untuk menemani para peserta pameran.
Hotel yang tepat berada di belakang penginapan yang kami tempati, tadi malam terlihat sangat bersinar di kegelapan malam. Hal tersebut membuat saya ingin pindah secepatnya, namun tidak memungkinkan karena sudah fully booked.
Bu Donna lalu menyarankan pindah ke kamarnya setelah beliau pulang karena hanya menginap beberapa hari. Saya langsung mengiyakan dengan perasaan bahagia layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan balon kesukaannya.
Saya membayangkan comfort yang tiada tara karena akan bisa menonton televisi , menikmati dinginnya AC, mandi air jernih yang melimpah tanpa takut ada ikan didalamnya serta listrik sepanjang hari. Saat itu saya merasa hal tersebut merupakan kemewahan yang hakiki.
Setelah pulang, saya memberitahukan rencana tersebut ke mbak Ayuk “ Mbak kita pindah yah, tidak masalah tetap bayar disini”. Saya mencoba merayu. “Terserah mbak Sarah saja, tapi lama-lama kalau kita menikmati , nyaman juga koq”.
Ternyata betul, ritme tubuh semakin menyesuaikan dengan keadaan yang gelap gulita setiap malam. Setelah bu Donna meninggalkan hotelnya , kami tidak jadi pindah dan sungguh menikmati moment bertemankan langit dan cahaya bintang.
Saya berterima kasih ke mbak Ayuk akan kesabarannya dan kota Waisai karena telah membuat saya menyadari akan kebahagiaan yang selama ini saya take it for granted.
Hati saya berdesik lembut mengetahui Raja Ampat , serpihan surga yang jatuh ke tanah Papua kini telah terang benderang 24 jam sejak 2021 melalui pembangkit listrik tenaga surya.
Dear PLN, terima kasih telah menerangi kehidupan saudara kami yang nun jauh di sana , namun sangat dekat di hati.
“People say you don’t know what you’ve got till it’s gone, but the truth is you knew what you had, you just never thought you’d ever lose it.”
Unknown
January 10th, 2022


