“The secret ingredient is always love.”
Unknown
Baltimore adalah kota pelabuhan terbesar kedua di Mid Atlantic dan East Coast. Di kota yang dikenal dengan nick name “The Greatest City in America”, Francis Scott Key menulis “The Star-Spangled Banner” yang selanjutnya menjadi lagu kebangsaan yang disenandungkan oleh seluruh penduduk Amerika Serikat. Letak Baltimore juga cukup strategis karena hanya berjarak sekitar 3 jam dari New York dan hanya sekitar 60 km dari Washington DC.
Embun di dedaunan masih basah dan mentari baru saja muncul dari peraduannya, namun saya tidak merasakan kantuk walaupun sudah terbangun sepagi itu. Saya membuka gorden jendela yang membingkai hampir setengah dari dinding living room dengan penuh semangat. Terlihat dari balik jendela walaupun dari jarak kejauhan, beberapa orang sedang melakukan olahraga di jogging track yang mengelilingi American football stadium.
Tumpukan sepatu yang tadinya tersusun rapi di sudut ruang tamu langsung saya sambar salah satunya dan segera membungkus kaki mungil saya dengan kaus kaki dan sepatu putih bermotif stripe merah muda dan biru.
Di lobby, sang guard yang ramah, Mr. Luca sedang membaca koran. Garis keturunan Italy sangat jelas terlihat dari guratan wajahnya yang sudah tampak menua.
“Ciao, Mr Luca. Good morning, hari yang sangat cerah.” Saya melepaskan senyum lebar sambil melambaikan tangan dan berjalan kaki ke luar menuju supermarket besar yang letaknya tak jauh dari apartment.
Sesampainya di sana saya melihat tumpukan sayur bayam yang masih segar terbungkus plastik transparan dan segera saya masukkan ke dalam keranjang belanja. Pikiran saya langsung melayang ke kelezatan masakan mama jika sayur bayam ini diolah dengan sentuhan tangannya.
Saya bergegas menuju kasir untuk membayar dan kemudian berjalan keluar menuju ke apartment sambil membawa semua barang belanjaan. Sesampainya di apartment, saya langsung menuju ke dapur dan tak sabar untuk mengolah sayur itu seperti sayur bening ala mama. Bayam yang dimasak dipadu dengan campuran wortel tipis. Jagung kecil yang telah dilepas dari tongkolnya dan dicampur bawang makin menambah kenikmatan rasanya.
Perut saya terasa melilit karena rasa lapar yang sedari tadi mendera. #nyaris pingsan mode on
Tak lama setelah sayur bening tersebut siap, telepon berdering dan ternyata itu dari Chris. Perbedaan time zone tidak membuat kami berhenti saling bertukar cerita dan bercanda tawa.
“Bagaimana hari kamu, sudah berapa kali kamu falling in love hari ini?” Terdengar nada canda Chris.
Saya tertawa lalu menjawab, “Belum, mungkin sore ini saya mau ke daerah Inner Harbor, sekadar cuci mata dan mampir mencari crab cake, makanan khas Baltimore.”
“Bagaimana Saturday night dinner dengan mama kamu? Pasti yummy yummy in the tummy yah,” saya berkata dengan nada riang.
“Tentu saja sangat nikmat, makanya tak pernah sekalipun saya melewatkan malam minggu bersama mama. For me, masakan mama adalah the best in the world, Sarah.”
“Malam minggu selalu family dinner karena mama pasti memasak khusus untuk saya dan adik saya Esther di hari itu. Sudah ritual wajib, bahkan sampai sekarang, saat sudah tidak tinggal dengan orang tua dan hidup mandiri,” Chris melanjutkan penjelasannya.
“Makanan seorang ibu untuk anaknya adalah makanan yang terenak di dunia yah, Chris. Saya tadi mencoba memasak sayur bening ala mama saya, tapi rasanya tak seenak jika mama yang memasak.”
“Bahkan jika saya ke restaurant yang paling mahal pun tak akan ada yang seenak makanan mama,” saya berkata dan pikiran saya berkelana membayangkan sayur bening hangat yang selalu disuguhkan oleh mama di Indonesia.
“Itu karena setiap ibu selalu memasaknya dengan dua sendok cinta. Priceless.” Chris menjawab dengan penuh keyakinan.
Masakan mama selalu membuat saya tak ingin beranjak dari meja makan sebelum memastikan tidak ada lagi yang tersisa. Bukannya karena kelaparan, tapi dari masakan yang sederhana sampai yang cukup rumit, berhasil membuat saya terlena.
Meskipun hanya semangkuk sayur bening ditemani sepiring ikan goreng dan nasi putih yang mengepul hangat terasa sangat luar biasa nikmatnya. Tangan saya tak akan berhenti membedah ikan tersebut sampai betul-betul tak ada sisa.
Kadang saya berpikir kenapa kedua tangan seorang ibu sangat magical sehingga sangat piawai dalam urusan memasak. Semua terjawab, tak lain dan tak bukan, semua kenikmatan itu tercipta tentunya karena seorang ibu melibakan hati yang tulus dengan bumbu cinta yang tanpa pamrih.
“Cooking with love provides food for the soul.”
Unknown
July 20th, 2018
More story in Baltimore :
https://www.sarahbeekmans.co.id/tahajud/


