“In the rush to return to normal, use this time to consider which parts of normal are worth rushing back to.” – Dave Hollis
Keesokan paginya, sinar mentari menembus tirai tipis, menyelimuti kamar hotel dengan cahaya yang hangat. Di luar, suara kota Chengdu mulai berdenyut perlahan seperti orchestra. Saya melirik jam tangan, masih ada waktu sebelum penerbangan ke Indonesia.
Dengan tas tenteng di bahu, saya melangkah keluar dari hotel, menyusuri jalan kecil yang mengarah ke People’s Park. Pagi itu dipenuhi derit roda sepeda yang berlalu-lalang dan aroma baozi hangat bercampur rempah, menguar di sepanjang Shaocheng Road, membimbing langkah menuju taman.
Langkah saya akhirnya tiba di People’s Park, taman yang seolah menjadi napas kota ini. Di pintu masuk, tulisan “Taman Rakyat” dalam aksara China terlihat kokoh di atas gerbang. Bayang-bayang pohon camphor menari lembut membawa kesejukan yang merasuk hingga ke hati.
Saat melangkah ke dalam taman, waktu terasa melambat. Di bawah gazebo berornamen classic, sekelompok lansia bermain mahjong, tawa mereka membumbung lembut, bercampur harmony dengan kicau burung dari pepohonan.
Tak jauh dari sana, seorang pria tua memimpin gerakan tai chi, gerakannya mengalir lembut, seperti berdialog dengan angin pagi. Di sudut lain, seorang kakek terlihat mengajari cucunya bermain tongkat bambu, gerakannya perlahan namun sarat kasih.
Segala kesibukan kecil itu terasa begitu selaras, tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Di taman itu, saya menyaksikan waktu berjalan dalam harmony, bukan sebagai musuh yang harus dikejar, melainkan sebagai sahabat yang menyapa perlahan.
Oh well, ternyata di tengah hiruk-pikuk kehidupan, selalu ada ruang untuk berhenti sejenak dan benar-benar hadir. Melihat mereka, kebahagiaan tampak sederhana yaitu terletak di antara hembusan napas yang tenang, yang mengingatkan bahwa kita tak selalu harus berlari.
“Happiness isn’t found in chasing the world, but in pausing to hear its quiet whispers and feel its gentle rhythm.”
Part 8.