“When life feels hurried, a teahouse reminds us to rediscover the art of pausing and simply breathing.”
Angin berembus lembut di antara pepohonan Champor, Ginkgo, dan Hackberry, membawa aroma dedaunan yang segar. Langkah saya menyusuri People’s Park terasa seperti sebuah napas panjang, perlahan, dalam, dan penuh kedamaian. jauh dari hiruk-pikuk Chengdu.
Chengdu adalah kota dengan jumlah teahouse terbanyak di China. Kota ini memang terkenal karena panda-panda menggemaskan dan makanan pedasnya yang menggoda. Tapi lebih dari itu, orang-orang Sichuan dikenal sangat laid-back dan ramah.
Barangkali itulah sebabnya mereka punya begitu banyak teahouse, setiap cangkir tea adalah undangan untuk duduk, dan membiarkan hidup mengalir tanpa paksaan.
Tujuan saya pagi ini adalah Heming Teahouse, yang oleh receptionist hotel disebut sebagai “the mother of all teahouse.” Berdiri di tengah People’s Park selama lebih dari satu abad, tempat ini tampaknya lebih dari sekadar tempat untuk menyeruput tea.
Ketika saya tiba, kursi-kursi sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tampak menikmati suasana. Mereka duduk dalam kelompok kecil sambil sesekali tertawa pelan. Tidak ada yang terburu-buru. Dunia luar seolah-olah berhenti di ambang pintu teahouse ini.
Saya berjalan perlahan, mengitari area, mencari tempat duduk yang kosong. Namun, setiap sudut telah diisi, hampir saja saya menyerah ketika seseorang dari sebuah meja memanggil. Dengan senyum hangat, mereka memberikan isyarat ramah, menggeser kursi untuk menciptakan ruang bagi saya.
Ada sesuatu yang hangat dalam keramahan mereka, sesuatu undangan untuk tidak hanya duduk tetapi untuk menyatu dalam kebersamaan. Chengdu, dengan segala ketenangannya, mengajarkan saya bahwa hidup paling indah adalah saat kita berhenti sejenak untuk menyeruput tea dan mendengarkan dunia bernapas.
“In the warmth of a teahouse, the quiet moments invite connection, and the world feels a little slower, a little softer.”
Part 10.