“Ambition may demand time, but love demands presence.”
Setelah mengagumi perhiasan Bu Dientje, pandangan saya beralih ke sudut booth. Di sana, Pak Farouk duduk tenang, matanya teduh, seperti seseorang yang telah lama terbiasa menjadi pendamping setia di antara kilau mimpi istrinya.
Beliau bukan sekadar pendamping, tapi akar yang diam-diam menahan pohon agar tetap tegak dalam angin. Pak Farouk, seorang dokter jantung ternama di Surabaya, terbiasa menghabiskan waktunya di rumah sakit, mendengar detak-detak kehidupan yang ia selamatkan.
Namun, hari ini beliau ada di sini, di antara batu-batu yang tak bersuara, tetapi merekah indah dalam sentuhan tangan Bu Dientje. Saya tersenyum kecil, mengingat betapa seringnya saya melihat pria-pria sibuk menukar waktu dengan keberhasilan, tapi Pak Farouk memilih menukar waktunya dengan kehadiran.
“Pak Farouk, apa kabar? Oh, so sweet sekali menemani Bu Dientje,” Sapa saya sambil mendekat. “Kita selalu bertemu di tradeshow, dari China, Singapore, hingga Cambodia.” Ia terkekeh pelan, tatapannya masih mengarah ke Bu Dientje yang tengah berbincang dengan pelanggan.
Senyum tulusnya mengandung pelajaran hidup yang sederhana, namun begitu dalam. Cinta, ternyata, bukan hanya soal kata-kata manis atau hadiah mahal. Cinta adalah seseorang yang, sepadat apa pun kesibukannya, tetap menemukan ruang untuk berada di sisi orang yang ia cintai.
Saya melihat ke arah Bu Dientje. Di sela obrolannya dengan pelanggan, sesekali ia melirik ke arah suaminya. Senyum kecil menghiasi bibirnya, bukan sekadar kebahagiaan karena dagangannya laku, tetapi karena tahu bahwa di tengah dunia yang bergerak cepat, ada seseorang yang setia menemani.
Waktu bukan soal seberapa banyak yang kita punya, tapi kepada siapa kita memberikannya. Dan Pak Farouk, dengan segala yang ia miliki, telah memilih untuk memberikannya kepada wanita yang ia cintai, bu Dientje.
“True love is standing beside their dream, not just watching from afar.”
Part 10.
