“Home isn’t always something we leave behind. It often rides quietly beside us, in the rhythm of voices and the warmth of shared laughter.”
Tak lama setelah memejamkan mata sejenak, suasana di lantai dua bus perlahan berubah. Sekelompok orang menaiki tangga sempit, lalu mulai memenuhi kursi-kursi kosong dengan langkah ringan dan suara yang sudah riuh sejak di bawah.
Mereka duduk di sisi saya, juga menghadap ke jendela depan. Begitu duduk, percakapan semakin mengalir dengan energy yang seolah tak pernah putus. Suara mereka membentuk irama yang akrab diselingi canda yang meledak tanpa jeda.
Dalam sekejap, saya merasa seperti sedang berada di Indonesia, bukan di Hong Kong. Ada sesuatu yang sangat khas dalam cara orang Indonesia berbicara… lepas dan sangat expressive.
Tawa mereka menggema, tak hanya di barisan tempat mereka duduk, tapi menjalar ke seluruh penjuru bus. Saya melirik ke belakang. Bapak yang tadi duduk tenang kini menatap dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Mungkin bukan karena ia mengerti bahasanya, tapi karena ritme suara dan gerak tubuh mereka yang begitu hidup. Gaya berbicara orang Indonesia memang tak bisa dipisahkan dari gerakan tangan.
Mereka seolah bercerita bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan bahasa tubuh, misalnya tangan yang terangkat, jari yang menari-nari hingga bahu yang ikut bicara. Oh so full of life.
Entah mengapa, semua itu terasa begitu dekat pagi ini. Tawa, suara, dan gerak tangan yang hidup di dalam bus membawa saya pulang sejenak, meski saya tengah melaju di bus yang menjauh dari Indonesia.
“We carry pieces of home not in our luggage, but in our accents, our gestures, and the way our laughter fills the air.”
Part 18.

