“Not every morning follows a script, but each one writes its own story.”
Kami berhenti di depan tenda kecil lalu bertukar pandang saat terlihat tirainya masih tertutup rapat. Chloe mendesah pelan, tapi tak ada keluhan di wajahnya, hanya mengamati jalanan yang mulai sibuk sebelum kembali menatap saya.
“Mama, is it still closed?” Saya mengangguk. “Sayang, sepertinya kita lanjut saja ke hotel Tante Patsy.” Chloe menggenggam tangan saya lebih erat, dan kami kembali melangkah, mengikuti bayangan sendiri yang memanjang di trotoar. Saat tiba di hotel, udara sejuk langsung menyambut.
Kami naik ke kamar Mbak Patsy yang baru saja mengakhiri video call dengan temannya. “Mbak Sarah sudah sarapan belum? Aku ada jatah untuk dua dewasa dan anak di bawah delapan tahun, pasti masih free.” Saya tersenyum. “Iya boleh, Mbak. Kalau pun Chloe harus bayar, tidak apa-apa.”
“Tadi mau beli, tapi semuanya masih tutup. Rencananya mau cari di venue atau beli buah di 7-Eleven,” saya menjelaskan. “Di sini saja. Mbak Sarah juga bisa minum tea hangat,” ujar Mbak Patsy sambil terkekeh, sudah paham betul kebiasaan saya yang tak bisa memulai pagi tanpa secangkir tea.
Di restaurant, kami memilih meja dekat jendela, membiarkan hangatnya pagi meresap perlahan, menyatu dengan obrolan ringan yang mengalir lembut tanpa terburu-buru.
Saya mengambil sepiring buah, salad, dan segelas tea yang mengepul hangat. Chloe memilih yogurt, setangkup roti dan pancake, lalu duduk sambil sesekali menatap keluar jendela, tempat pohon-pohon di kejauhan berdiri tenang di bawah langit yang terlihat sangat cerah.
“Mama, akhirnya kita sarapan juga. Thank you, Tante Patsy,” gumamnya, dengan penuh rasa syukur. Saya ikut berterima kasih lalu mengaduk tea perlahan. Pagi ini mungkin tak berjalan seperti rencana, tapi mengajarkan bahwa kesabaran sering kali membawa kita pada kejutan yang lebih manis.
“Not every plan unfolds as expected, but every moment finds its own meaning.”
Part 23.