“The true value of things is not measured by their grandeur, but by the comfort they bring to our hearts.”
Di bulan October, musim gugur perlahan menyapa kota Leeds dengan udara sejuk yang merayap pelan, membawa aroma daun yang basah dan tanah yang lembap. Langit berubah-ubah tanpa aba-aba, mendadak hujan, disusul mendung yang menggantung seolah enggan memberi jawaban.
Cuaca di sini selalu penuh kejutan, seperti sebuah cerita yang belum selesai ditulis. Saya dan Sisca melangkah menyusuri trotoar campus, melewati Clarendon Building yang menjulang megah. Di kanan kiri, deretan pepohonan berdiri dalam keheningan, perlahan melepaskan daun-daunnya.
Satu per satu daun jatuh, melayang lembut di udara sebelum berserah pada tanah. Ada keindahan di sana, keindahan yang sederhana, tetapi penuh makna, seolah mengingatkan bahwa perpisahan pun bisa menjadi bagian dari perjalanan yang indah.
Kami baru saja kembali dari rumah Bu Prapto, perut masih hangat oleh soto ayamnya. Hidangan itu tidak rumit, tetapi dalam kesederhanaannya bagaikan pelukan yang membungkus hati, membawa kami pulang meski hanya dalam ingatan.
Sisca melangkah dalam diam namun tidak kosong, pikirannya tampak terbang jauh bersama daun-daun yang gugur. Tiba-tiba, beberapa daun jatuh menyentuh pundak. Kami berhenti sejenak, membiarkan moment itu berbicara lebih banyak daripada yang mampu diucapkan.
“Cuaca di sini benar-benar unpredictable ya, Jeng Sisce,” dengan senyum kecil, ada jejak kerinduan yang tak mampu sepenuhnya saya sembunyikan. Dia mengangguk pelan, matanya menerawang, merasakan hal yang sama.
Musim gugur di Leeds seolah berbicara tentang kehidupan. Daun-daun yang gugur itu, seperti soto ayam Bu Prapto, mengingatkan bahwa keindahan sejati tidak selalu hadir dalam bentuk yang megah. Kesederhanaannya adalah kekuatannya.
“Life is not always about what is grand, but about how we appreciate the small things.”
Part 1.