“Perspective isn’t just about how high we stand, but about what we choose to notice.”
Saya dan Arsyl melangkah berdampingan di trotoar yang masih basah. Di balik kaca gedung student union, siluet-siluet mahasiswa bertahan dalam percakapan hangat, sementara aroma fish and chips dari mereka yang menikmati late dinner bercampur dengan udara malam yang dingin.
Hujan yang tadi mengguyur meninggalkan genangan kecil di pinggir jalan, memantulkan cahaya lampu kota yang berpendar keemasan. Langkah kami selaras, sesekali menghindari ranting-ranting pohon yang menjuntai, masih meneteskan sisa hujan.
“Sebentar lagi sampai, untung kamar saya di lantai lima,” ujar Arsyl, suaranya mengalun pelan. Saya tersenyum. “Saya di lantai delapan.” Ia menoleh sebentar, lalu tertawa kecil. “Saya sudah siap tidur, kamu masih dalam lift menuju kamar.”
Saya mengangkat bahu. “Tapi pemandangannya lebih indah dari atas sedangkan kamu hanya bisa melihat atap refectory.” Saya membela diri. Arsyl tetap menatap lurus ke depan. “Maybe, tapi kadang yang lebih tinggi justru terasa lebih jauh, kan?” Suaranya pelan, seperti memikirkan ucapannya sendiri.
Saya menoleh lalu tertawa kecil. “Tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Dari atas, semuanya terasa lebih luas, lebih bebas. Tapi di bawah, kita bisa melihat lebih dekat, merasakan lebih banyak hal yang sering terlewat.”
Angin malam berembus, membawa sisa-sisa gerimis yang tertinggal di udara. Arsyl mengangguk pelan, matanya sejenak menerawang sebelum kembali melirik ke arah saya, seolah mencari sesuatu dalam kata-kata tadi.
Kami terus berjalan, langkah kami menyatu dengan jalanan basah yang perlahan mengering. Malam ini bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi tentang apa yang benar-benar terlihat. Bukan dari seberapa tinggi kita memandang, melainkan dari seberapa dekat kita merasakan.
“It’s not just about how high we stand, but about what we truly notice—whether from afar or up close.”
Part 20
