“A moment well-lived never truly leaves—it stays, woven into who we are.”
Aroma tea halia masih menguar, mengisi ruang dengan keheningan yang bicara.”Seperti tea ini,” saya berbisik, lebih pada diri sendiri. “Saat masih panas, kita tiup-tiup, takut terlampau panas. Tapi bila sudah dingin, kita malah mencari balik kehangatannya.”
Hari ini, tangan saya masih sibuk menyiapkan makanan kesukaan mereka, menanyakan apakah tugas sekolah sudah selesai, atau sekadar membuatkan minuman sembari menunggu di meja makan hingga mereka selesai bercerita tentang dunia kecilnya.
Tapi suatu hari nanti, tangan yang sama hanya akan meraba kenangan. Rumah yang dulu riuh akan menjadi lebih sunyi. Kursi yang selalu terisi akan sesekali kosong. Panggilan “mama” yang dulu terdengar hampir setiap jam perlahan menjadi sesuatu yang jarang.
Saya masih bisa mendengar mereka memanggil, meminta bantuan memilih pakaian, menanyakan pendapat, atau tiba-tiba panik saat sesuatu terlupa entah tugas sekolah yang butuh dibeli, entah barang kecil yang mendadak penting, selalu di detik-detik terakhir yang membuat seisi rumah ikut kalang kabut.
Wanita berkerudung biru akhirnya bersuara, memecah keheningan. ” Kadang kitani terlampau sibuk sampai inda sadar apa yang ada di depan mata.” Saya tersenyum kecil. “Mungkin bukan tentang meratap ketika sesuatu berlalu, tapi belajar bersyukur karena kita pernah memilikinya.”
Ia mengangkat gelasnya sedikit, seolah menyetujui. ” For every second we get to cherish while it lasts.” gumamnya. ” Inda jua mengeluh,” wanita berkerudung putih menambahkan, suaranya pelan, namun mengisi ruang dengan kehangatan yang sulit dijelaskan.
Di luar, gerimis masih menari di jendela, membasahi jalanan yang mulai ramai. Tapi kali ini, saya biarkan waktu mengalir tanpa tergesa. Biarkan ia hadir, biarkan ia menetap sejenak sebelum akhirnya berlalu. Tapi setidaknya, berlalu dengan indah.
“Let moments linger, let them settle, so when they fade, they do so beautifully.”
Part 13.