“The art of living is knowing when to say Shouganai.”
Dini hari yang hening saat San Francisco berbalut kabut tipis, seolah kota ini merangkul perlahan sebelum membiarkan saya melangkah pergi. Saat membuka jendela, angin dingin yang menyusuri jalanan membelai pipi, seakan berbisik lembut memberi salam perpisahan.
Di kejauhan, Golden Gate bridge berdiri megah diselimuti kabut, memercikkan bayangan samar di temaramnya subuh turut mengucapkan selamat jalan. Rasa haru bercampur semangat saya rasakan saat menuju airport untuk lanjut ke tradeshow berikutnya di Tokyo.
Namun saat menjelang boarding, saya baru menyadari telah membeli ticket dengan jadwal yang salah. Ada perbedaan waktu 16 jam antara Tokyo dan San Francisco sehingga saat landing nanti, tradeshow hari pertama telah mulai. Dunia terasa menghimpit dan degup dada bertalu secepat derap tapak kuda.
Dengan tangan yang gemetar diselimuti kepanikan, saya mencoba menghubungi salah satu teman di Tokyo . Masih menggenggam telepon, berharap suara di seberang segera menjawab. Deringnya memanjang, setiap nada bagaikan jarum waktu yang menusuk kesabaran.
Telepon itu akhirnya terangkat dan suara tenang terdengar di ujung sana. Saya menceritakan situasi dengan napas yang masih tersendat-sendat. Ia meminta saya menghela napas pelan dan berkata dengan lembut, “Shouganai, shouganai, Sarah.”
Kata itu terus diulang, “Shouganai.” Pikiran saat itu masih kalut berkutat pada bagaimana saya bisa memperbaiki keadaan. Namun, mendengar suaranya yang tetap tenang, saya akhirnya bertanya, “Maaf, apa arti dari shouganai?”
Ia menjelaskan dengan sabar bahwa “shouganai” adalah ungkapan dalam bahasa Jepang . Penjelasannya yang lugas seperti angin lembut yang berhembus saat ia mencoba meyakinkan saya bahwa terkadang some things are beyond my control and I just have to roll with the punches.
“Shouganai: finding peace in what must be.”