0062 8119985858 info@sarahbeekmans.co.id

“Resilience wears many faces, sometimes it looks like strength in the most unlikely places.”

 

Pagi masih menyimpan sisa tenangnya saat kami berhenti di tepi trotoar, membiarkan diri diam sejenak di tengah riuh yang perlahan tumbuh. Di kejauhan, terdengar derak sepeda, percakapan di ujung telephone, dan langkah-langkah tergesa yang melintasi lampu hijau.

 

Sophie masih menatap bunga kudzu itu, matanya seolah menyimpan pertanyaan yang belum sempat menjadi kata. Saya ikut diam, memberi ruang bagi pagi untuk lebih dulu berbicara.

 

Lalu suaranya muncul perlahan, seperti bisikan, “Mama, kenapa bunga kudzu bisa tumbuh di tempat yang gersang dan kering?” Saya menoleh padanya, tersenyum kecil. “Kudzu itu tidak hanya tumbuh di tanah yang subur, sayang.” ucap saya lembut.

 

“Kadang ia hidup di tanah yang keras dan tetap  bisa tumbuh karena perlahan mencari jalannya sendiri. Like when you wanted to grab that book on the high shelf. Even though it was tough, you kept trying and trying, especially because it was the pink one, right?”

 

Sophie mengangguk pelan, dan kelopak matanya bergoyang kecil tertiup angin. “I love pink,” katanya sambil tertawa kecil, seolah menerima rahasia yang baru saja dibisikkan bumi padanya. Ia kembali menatap saya, menunggu kelanjutannya.

 

“Ia punya teman kecil di dalam tanah,sayang. ” lanjut saya. “Namanya bakteri dan mereka saling membantu. Kudzu tidak selalu butuh tanah yang subur, karena ia bisa mengambil sedikit makanan dari udara juga, jadi meski tempatnya sulit, ia tetap bisa tumbuh dan terus merambat.”

 

Sophie tidak menjawab, tapi matanya tampak menyimpan sebuah pengertian yang tumbuh perlahan, seperti kudzu yang tampak rapuh, namun diam-diam merambat di sela-sela batu, tenang, tekun, dan akhirnya menemukan jalannya sendiri untuk terus hidup.

 

“Don’t mistake softness for surrender , even the wind shapes mountains.”

Part 23.

 

 

 

 

 

 

Bagikan ini:
error: Content is protected !!