“We do not travel to leave things behind, but to gather stories to bring home.”
Langit pagi membentang luas saat kami terbang menuju Hatyai, kota yang tak asing bagi saya. Sudah berkali-kali ke Thailand, termasuk ke Hatyai, namun kali ini berbeda karena Chloe kembali ikut menemani tradeshow, sementara hiruk-pikuk khas Thailand menanti di depan.
Hatyai, kota yang berbatasan dengan Malaysia, berdenyut dalam semarak night market dan hiruk-pikuk khas perbatasan. Perpaduan budaya Thailand Selatan, Thai-Cina, dan Thai-Muslim terasa di setiap sudut, dari aroma rempah yang menguar hingga mudahnya menemukan halal food.
Di pesawat, Chloe duduk di samping saya, lebih diam dari biasanya. Saya tahu hatinya masih tertinggal di Indonesia, bersama Sophie yang kali ini harus kami tinggalkan. “Saya sedih meninggalkan Sophie,” gumamnya pelan, jemarinya menggambar pola acak di jendela.
Saya meremas tangannya lembut. “Kadang kita harus berpisah sebentar, supaya nanti ada cerita baru yang bisa kita bagi,”. Mata Chloe perlahan berbinar, seakan sudah membayangkan kisah-kisah yang akan ia bawa pulang untuk Sophie.
Saat pesawat mulai menurunkan ketinggian, ia masih terpaku di jendela, menyaksikan rumah dan gedung yang berjejer seperti barisan semut. Saya menatapnya, melihat bagaimana beban rindunya perlahan luruh, tak lagi seberat saat pesawat lepas landas.
“Chloe sayang, rasa rindu itu tidak perlu dihindari,” bisik saya. “Justru dari sana, kita belajar menghargai setiap moment bersama.” Chloe mengangguk, lalu tersenyum. “Dan kalau rindu, kita bisa pulang membawa banyak cerita untuk Sophie, kan?”
Saya ikut tersenyum. Hari itu, di antara deru pesawat yang mendarat dan riuhnya penumpang di airport, Chloe yang masih begitu kecil belajar satu hal, bahwa perjalanan bukan sekadar tentang tempat baru yang kita datangi, tetapi juga tentang bagaimana hati belajar berdamai dengan jarak.
“Every goodbye carries the promise of a story worth sharing.”
Part 1.