“A mother’s love is not always heard, but it is always present, living in the pauses between her words.”
Percakapan mereka bertiga mengalir perlahan, seperti sungai yang tak terburu-buru, membawa kisah yang lebih dari sekadar cerita yaitu jejak yang tetap hidup dalam diri anak-anak mereka. Saya duduk diam, mendengarkan, tapi lebih dari itu, saya mengamati.
Cinta mereka tidak selalu hadir dalam kata-kata, tetapi dalam bahasa yang lebih halus, yang tak bersuara. Dalam tatapan yang melunak saat menyebut nama anak-anaknya, seolah dalam satu nama itu tersimpan seluruh dunia yang pernah mereka bangun.
Jemari yang berulang kali menyentuh gelas bukan sekadar kebiasaan, melainkan cara mereka menggenggam sesuatu yang tak tampak yaitu rasa rindu yang tak terucap, bangga yang tak perlu diumumkan, doa yang tak pernah putus, dan cinta yang tak meminta balasan.
Senyum yang muncul di sela cerita bukan karena sedang melempar lelucon, tetapi karena kenangan yang begitu melekat dan berharga. Dalam gerakan kecil seperti membetulkan ujung kerudung, menyapu remah di meja, atau sekadar menarik napas sebelum melanjutkan kisah, cinta itu sungguh terlihat.
Dalam jeda di antara kalimat, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rindu. Mungkin, cinta seorang ibu memang begitu. Tidak selalu hadir dalam suara yang lantang, tidak selalu terucap dalam kata-kata, tetapi selalu ada dalam hal-hal yang nyaris tak disadari.
Semua dapat terlihat mulai dari helaan napas saat mereka menyebut nama anak-anaknya, dalam sorot mata yang dipenuhi kebanggaan tersembunyi hingga dalam cara mereka bercerita dengan tenang tapi penuh makna.
Beberapa cinta memang seperti itu, diam, tapi tetap terasa. Tak butuh pengakuan, tak menuntut untuk didengar, tapi selalu menetap dalam gerakan kecil yang berbicara lebih dari kata-kata.
“Through simple gestures, a mother narrates her endless love story.”
Part 17.