“We grow into flavors as we do into experiences, slowly, unexpectedly, yet inevitably.”
Wanita berkerudung biru tersenyum kecil, mengaduk minumannya perlahan. ” It reminds me of how children’s tastes change over time.” katanya tiba-tiba. Saya mengangguk, tertarik dengan arah pembicaraan yang baru.
“Dulu, budak-budak ku hanya mau makan yang durang biasa saja. Sayur? Inda mau. Rasa kuat sikit? Terus lari. Tapi sekarang, durang sudah berani mencuba macam-macam,” lanjutnya.
Wanita berkerudung putih terkekeh, matanya menerawang sejenak. “Sama jua. Dulu, budak-budak ku inda tahan makan pedas. Kalau ku buat sambal, durang mengadu macam ku menyiksa durang. Sekarang? Durang sendiri yang mencari makanan yang pedasnya membakar lidah.”
Saya tertawa kecil, membayangkan hal yang sama terjadi pada anak-anak saya. Wanita itu menghela napas ringan, tatapannya hangat. “Kadang kita lupa yang durang membesar. Selera durang berubah, macam jua cara durang meliat dunia. What they used to refuse, they now love.”
Saya terdiam sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Mungkin begitu juga dengan hidup,” ujar saya akhirnya. “Ada hal-hal yang dulu terasa asing, yang kita hindari karena belum siap. Tapi seiring waktu, kita mulai menerimanya, bahkan menyukainya.”
Wanita itu tersenyum, mengangkat gelasnya sedikit. ” Macam halia dalam teh. Dulu masa kecil, rasanya pedas banar, menusuk. Tapi sekarang, nyaman lagi dicari kehangatannya.” Saya ikut tersenyum, menyesap sisa tea tarik halia yang mulai mendingin, tapi jejak hangatnya masih terasa.
Hidup pun begitu. Selera kita berubah, pemahaman kita bertambah, dan yang dulu terasa asing, perlahan menjadi bagian dari kita. Beberapa hal memang butuh waktu untuk bisa diterima sepenuhnya, tapi saat akhirnya kita terbiasa, justru di sanalah kita menemukan kehangatan yang selama ini kita cari.
“Change is like a new taste, unfamiliar at first, but with time, it becomes something we seek.”
Part 11.