“A mother never truly leaves. She lingers in the small rituals and quiet habits her children carry with them.”
Wanita berkerudung biru menarik napas pelan, jemarinya masih menyentuh ponsel yang baru saja diletakkan. ” Funny, isn’t it ?” katanya akhirnya, suaranya selembut uap tea yang melayang di udara. ” Dorang inda selalu menghubungi, tapi dalam barang-barang kecil, kitani tetap ada di ingatan dorang.”
Wanita berkerudung putih tersenyum samar, mengaduk cangkirnya perlahan seolah mengaduk kenangan yang timbul kembali. ” Waktu anakku bejurusan, ku pikir ia kan sibuk saja dengan hidupnya. Tapi satu hari, ia kirim gambar lagi membuat kuih batik, katanya rindu buatan tanganku.”
Wanita berkerudung kuning mengangguk pelan, jemarinya membelai pinggiran cangkir. ” Kadang, sayang durang inda datang dalam bentuk panggilan panjang atau mesej hari-hari, tapi dalam kebiasaan-kebiasaan kecil yang kitani tinggalkan dalam durang.”
Ia menatap kami, lalu melanjutkan, ” From the way they set the table like we always do, the way they reach for warm tea when they’re feeling unwell, to the habit of setting aside food for others before taking their own plate.”
Saya tersenyum, “Seperti bayangan yang tetap ada meski sumber cahayanya telah pergi,” gumam saya, lebih kepada diri sendiri. Saya kembali menyesap tea yang sudah dingin, tapi entah mengapa rasanya tetap hangat. Mungkin karena cerita mereka atau mungkin karena makna yang terselip di antara kata-kata.
Seorang ibu mungkin tak selalu terlihat dalam langkah-langkah anaknya. Tapi ia hadir dalam kebiasaan yang diwariskan, dalam doa yang tak pernah putus dan dalam cara anak-anaknya mencintai dunia.
Cinta seorang ibu tak selalu bersuara. Ia tenang, tapi menetap. Ia tak selalu tampak, tapi selalu ada. Seperti udara yang mengisi ruang dan seperti kehangatan yang tertinggal bahkan setelah sentuhan terakhir.
“A mother’s presence isn’t just in the moments she’s there, but in the traces of her care that never fade.”
Part 15.