“Love isn’t always measured by presence; it can also be felt in the depth in which we stay.”
Aroma tea halia masih menguar, mengisi ruang dengan keheningan yang bicara. Gerimis di luar mulai reda, meninggalkan jejak samar di jendela yang perlahan mengering.
Wanita berkerudung biru tersenyum kecil, meletakkan ponselnya di meja setelah membaca sesuatu. ” My daughter baru saja menghantar mesej,” katanya pelan, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri. “Katanya, tadi nampak makanan ku suka, terus teringat ku sekejap.”
Wanita berkerudung putih mengangguk, matanya lembut. “Kadang kitani rasa anak-anak makin jauh dari kitani,” gumamnya, ” But in the little things, dorang masih bawa kitani dalam ingatan.”
Wanita berkerudung kuning, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. “Jauh inda beerti hilang.” Ia berkata dengan suara lembut tapi berisi. Saya mengaduk tea yang hampir dingin, membiarkan kata-kata mereka tenggelam perlahan, meresap dalam benak.
Oh well, mungkin, kehadiran itu bukan sekadar soal raga yang selalu ada. Tapi tentang rasa yang tak pernah benar-benar pergi. Tentang kasih yang menetap dalam ingatan, dalam pesan-pesan pendek yang dibaca berulang kali dan dalam moment-moment kecil yang tak sengaja mengingatkan.
Mereka saling berpandangan sejenak, tanpa kata, hanya pemahaman yang mengalir begitu saja. Anak-anak mereka mungkin tak lagi duduk di meja makan setiap hari, tapi mereka masih ada. Tentunya dalam cara yang berbeda, dalam bentuk yang lebih halus, tapi tetap ada.
Di luar, gerimis telah berhenti. Matahari mengintip pelan, menghangatkan jalanan yang basah. Kami menyesap tea perlahan, membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa. Pada akhirnya, yang benar-benar tinggal bukanlah keberadaan, tapi ikatan yang tak lekang oleh waktu.
“Distance may stretch the space between us, but love keeps us close.”
Part 14.