“We teach them to fly, yet we ache when they no longer need our wings.”
Saya kembali mendengarkan pembicaraan mereka. Wanita berjilbab biru menghela napas sebelum berucap, suaranya pelan namun sarat makna. “”Kita tau anak-anak akan membesar. Tapi tetap jua, bila sampai masanya, rasanya macam kehilangan sesuatu yang inda pernah kita bersedia untuk lepaskan.”
Kata-katanya menggantung di udara, seperti angin tipis yang menyelinap di antara percakapan. Ada sesuatu yang unik tentang waktu, ia bergerak tanpa suara, tapi meninggalkan jejak yang tak benar-benar pudar.
Dulu, mereka adalah dunia bagi anak-anaknya, tempat pulang saat takut dan lelah, tangan yang dicari dalam gelap dan suara yang menenangkan di tengah tangis.
Lalu, perlahan-lahan, anak-anak itu melangkah lebih jauh. Bukan karena ingin meninggalkan, tetapi karena kaki kecil mereka yang dulu berjinjit kini telah kokoh berdiri. Langkah-langkah yang selalu mengarah pada ibunya kini mulai menjelajah ke arah yang berbeda.
Di bawah langit yang sama, setiap orang berjalan dengan kisahnya masing-masing. Namun pada akhirnya, kehilangan selalu terasa serupa. Ia tidak datang dalam hentakan yang tiba-tiba, tetapi seperti angin yang perlahan menggeser segalanya tanpa kita sadari.
Mungkin inilah moment yang paling sulit diterima seorang ibu, saat anak-anak yang dulu begitu bergantung, akhirnya beranjak dewasa. Genggaman yang dulu erat akan perlahan melonggar, dan pelukan yang selalu mereka cari, akan hanya sesekali mereka hampiri.
Mungkin begitulah cinta seorang ibu, bukan tentang menahan, melainkan merelakan. Bukan tentang mengikat, tetapi mengiringi dari jauh, dengan doa yang tak pernah putus.
“The truth is not hard to find, its hard to swallow.”
Part 19.