“Don’t walk too far away from the child within you, and never abandon the sense of wonder that magnifies the smallest of things into mountains of joy. For one day, when you lose sight of happiness, that child within can guide you back to the things that once nourished your heart.”
― Dodinsky
Saya memalingkan kepala ke jendela kelas yang berukuran cukup besar, berharap bisa mendengar deburan ombak yang terlihat jelas dari balik jendela. Namun, sayangnya jendela tersebut tertutup rapat. Suasana hati sungguh sangat menikmati berada di pulau yang penduduknya penuh kebahagiaan, sehingga deburan ombak tetap terdengar jelas hingga menembus dinding hati saat itu.
“Wahey!” hati bersorak kegirangan karena tea time telah tiba. Saya dan Rosie lalu berjalan keluar kelas dan Rosie berbisik,”Sarah, lihat siapa yang lagi duduk di sana, sepertinya Teki betul-betul niat menjadi tour guide kamu.”
Kami lalu menghampiri meja di mana Jos sedang duduk sambil menikmati kopinya.
“Hello, Jos. How are you?”
“Fine, Tiny.”
“Saya tidak bertanya how you looked, Jos.” Menjawab sambil menyunggingkan senyum dengan sinar mata iseng.
Tiba-tiba kopi di tangan Jos tumpah. “Oh well, maaf. Tapi kamu baru saja berhutang satu gelas kopi kepada saya, Tiny.” Jos membalas.
“How come? Saya kan baru saja keluar dari ruangan dan tidak ada angin tidak ada petir, kenapa bisa tiba-tiba tumpah? Pasti kamu sengaja,” Menatap Jos dengan wajah menyelidik.
“Gara-gara saya terpesona melihat kamu tiba barusan jadi kopi saya tumpah,” Jos menjawab sambil ikut nyengir iseng.
Rosie tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Oh beginilah ternyata kalau dua tukang gombal bin sanguinis akut bertemu.”
“Iya Rosie, makanya kami tidak bisa bersatu, sanguinis yang lebay cocoknya dengan tipe melankolis.” Saya segera menjawab dengan serius.
“Tiny, Kita harus buktikan kalau teori kamu salah. By the way, saya belum tahu nama belakang kamu. Tadi malam saya mau memimpikan kamu tapi saya pending karena saya ingin tahu nama lengkap dahulu agar tidak salah memimpikan orang.”
“Kamu mau memimpikan saya atau mau isi formulir pendaftaran kuliah, Jos?” tertawa keras hingga hampir jatuh dari kursi.
“Anyway, kalau di Indonesia tidak semua orang mempunyai family name diakhir nama mereka. Ada beberapa daerah yang mempunyai family name, ada juga yang tidak seperti saya. Saya suku bugis dari pulau Sulawesi, pulaunya mirip di sini, juga dikelilingi oleh pantai yang sangat indah.” Kembali menerangkan dengan pandangan penuh rindu akan kampung halaman.
“Hmmm… nanti di saat sifat keras kepala kamu hilang dan pada akhirnya mau menjadi my forever and ever, kamu bisa memakai last name saya. Untuk sementara, last name kamu adalah Gillette.”
“Kenapa Gilette?” raut muka kebingungan menatap Jos.
Karena kamu adalah “The best a man can get,” Jos menjawab dengan senyum boyish look-nya yang sangat mirip Rob Lowe.
Saya tetap diam dan tak memberikan tanggapan. Jos terlihat panik, “Kenapa kamu termenung? Apakah kamu tidak suka dengan jokes saya tentang Gillette? Maafkan saya yah.”
“Bukan itu, Jos. Suasana di sini dan setelah membahas tentang Sulawesi akhirnya membuat saya tiba-tiba merindukan masa kecil dahulu di sana. Berlari-larian sambil merentangkan tangan dan tertawa tanpa beban. Rasanya ingin kembali ke masa lalu.” Berkata dengan nada lirih
“Anak kecil itu kebahagiaannya dari hal yang sangat sederhana dan kami Fijian pun seperti itu. Bukan berarti kami bertingkah kekanak-kanakan sehingga di luar batas kewajaran dari norma-norma yang ada.”
“Tiny, kamu tidak perlu menyusutkan badan atau membayangkan akan ada time machine untuk kembali ke masa tersebut. Semuanya ada di hati. Mari kita dendangkan kebahagian anak kecil di dalam hati. Kebahagian yang sangat lepas dan tanpa beban. Sesekali longgarkan syaraf-syaraf untuk hal-hal yang membuat kita bahagia. Setelah kelas kamu selesai, akan saya tunjukkan tempat di mana kamu bisa kembali ke masa kecil tanpa time machine.”Jos lanjut menerangkan dengan sabar.
Kini saya sadari ,ternyata kebahagiaan itu hanyalah masalah persepsi. Jika berkata, “Saya bahagia” maka bahagia akan mendatangi hati saya. Sebaliknya jika berkata, “Saya sedih” maka akan galaulah hati saya sepanjang hari.
Saat sudah dewasa seperti ini, saya kadang lupa menyederhanakan arti kebahagiaan tersebut. Seharusnya tidak perlu ada alasan untuk berbahagia. Saya juga tidak perlu menunggu seseorang untuk datang membahagiakan saya. Kebahagiaan datangnya dari dalam diri dan kebahagiaan kecil yang saya ciptakan sendiri tersebut akan menjadi cikal bakal kebahagiaan besar yang seutuhnya.
“Be happy for no reason, like a child. If you are happy for a reason, you’re in trouble, because that reason can be taken from you.”
Deepak Chopra
March 23rd, 2018